Rabu, 05 Juli 2017

Undha Usuk Basa Jawa



Menurut Harjawiyana (2001: 17-19) undha-usuk basa dapat di pilah menjadi dua yaitu undha-usuk basa di jaman kejawen dan undha-usuk basa di jaman modern. Undha-usuk jaman kejawen yang dimaksud adalah jaman Keraton Surakarta dan Ngayogyakarta Hadiningrat, sekitar tahun 1900 Masehi. Sedangkan undha-usuk di jaman modern ditandai setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Undha-usuk bahasa Jawa di jaman kejawen mengenal enam tingkat tutur. Sedangkan undha-usuk di jaman modern mengenal dua tingkat tutur (Harjawiyana 2001:18). Tingkat tutur tersebut adalah: (1) Undha-usuk basa di jaman kejawen dibagi menjadi basa ngoko, basa madya, basa krama desa, basa krama, basa krama inggil dan basa kedhaton. (2) Undha-Usuk basa di jaman modern dibagi menjadi ngoko dan krama. ngoko dipilah menjadi ngoko lugu dan ngoko alus, sedangkan krama dipilah menjadi krama lugu dan krama alus.
Share:

Ngoko Alus

Dialog

Ngoko alus adalah ragam pemakaian bahasa Jawa yang dasarnya adalah ragam ngoko, namun juga menggunakan kosakata krama inggil, dan atau krama andhap. Ngoko alus digunakan oleh peserta tutur yang mempunyai hubungan akrab, tetapi diantara mereka ada usaha untuk saling menghormati (Hardyanto dan Utami, 2001:47). Afiks yang digunakan adalah afiks ngoko, kecuali awalan -kok, dan akhiran –mu. Awalan –kok dan akhiran –mu diganti dengan kata panjenengan.
Harjawiyana dan Supriya (2001:46-49) mengemukakan tentang konsep pembentukan ragam ngoko alus sebagai berikut. (1) Leksikon ngoko untuk menghormati orang lain diganti menjadi leksikon krama inggil (apabila ada) kalau tidak ada maka tetap menggunakan leksikon ngoko tersebut. (2) Leksikon ngoko yang berhubungan dengan diri pribadi walaupun memiliki leksikon krama inggil, tetap digunakan leksikon ngoko. (tidak boleh menggunakan krama inggil untuk diri pribadi). (3) Leksikon ngoko yang berhubungan dengan hewan, tumbuh-tumbuhan, walaupun memiliki kosakata krama inggil, maka tetap digunakan ngoko. Misalnya : ”Perkutut Panjenengan njaluk ngombe” ’Perkututmu minta minum.’ Kalimat tersebut sudah benar, jangan sampai justru diganti menjadi ”Perkutut panjenengan nyuwun unjukan.” (4) Tidak digunakan leksikon krama, hanya krama inggil, krama andhap atau ngoko saja. (5) Awalan, sisipan, akhiran tetap menggunakan ngoko kecuali awalan -kok, dan akhiran –mu. Awalan –kok dan akhiran –mu diganti dengan kata panjenengan.
Share:

Ngoko Lugu

Permainan tradisional

Ngoko Lugu
adalah ragam pemakaian bahasa Jawa yang seluruh kalimatnya dibentuk dengan kosakata ngoko (termasuk kosakata netral). Afiksnya (awalan, akhiran) juga tetap menggunakan afiks ngoko. Ragam ini digunakan oleh peserta tutur yang mempunyai hubungan akrab dan tidak ada usaha untuk saling menghormati. Contoh kalimat dengan penggunaan ragam ngoko lugu. (1)  Jaka  mangan sate. (2) Iwan seneng ngrungokake radhiyo. (3) aku mangkat sekolah.


Share:

Krama Lugu

Siswa bersalaman dengan guru

Krama Lugu adalah ragam pemakaian bahasa Jawa yang seluruh kalimatnya dibentuk dengan  kosakata krama, afiknya juga menggunakan afiks  krama. Krama lugu digunakan oleh peserta tutur yang belum atau tidak akrap misalnya baru kenal. Kaidah pembentukan krama lugu adalah sebagai berikut. (1) Leksikon ngoko yang memiliki padanan dalam leksikon krama, maka diubah menjadi leksikon krama kecuali, yang tidak memiliki leksikon krama, maka tetap menggunakan leksikon ngoko. (2) Leksikon ngoko yang berhubungan dengan diri pribadi seandainya memiliki padanan dalam leksikon krama maka diubah menjadi krama. (4) Afiks ngoko diubah menjadi krama, misalnya awalan di- diubah menjadi dipun-, awalan kok- diubah menjadi sampeyan, ater-ater dak- diubah menjadi kula. (5) Leksikon yang berhubungan dengan hewan, tumbuh-tumbuhan yang memiliki leksikon krama maka diubah menjadi krama. (Harjawiyana dan Supriya,2001: 46-49)
Share:

Krama Alus

Tata krama siswa kepada guru

Ragam krama alus adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon krama dan dapat ditambah dengan leksikon krama inggil atau krama andhap. Meskipun begitu yang menjadi leksikon inti adalah leksikon yang berbentuk krama. Leksikon madya, dan ngoko tidak pernah muncul di dalam tingkat tutur krama alus (Sasangka, 2004: 111)
Harjawiyana dan Supriya (2001: 98-101) menjelaskan tentang kaidah pembentukan  ragam krama alus, sebagai berikut. (1)  Leksikon ngoko yang memiliki padanan krama inggil maka diubah menjadi krama inggil kecuali yang berhubungan dengan diri pribadi tetap menggunakan krama. (2) Apabila leksikon ngoko tidak memiliki padanan dalam leksikon krama inggil, tetapi hanya memiliki padanan dalam leksikon krama, maka diubah menjadi krama saja. (3) Apabila leksikon ngoko tidak memiliki padanan dalam leksikon krama inggil, maupun krama, tetapi hanya memiliki padanan dalam leksikon ngoko maka diubah menjadi ngoko. (4) Semua afiks diubah menjadi krama. Misalnya di- menjadi dipun-,  kok- menjadi panjenengan. Akhiran –e diubah menjadi –ipun, -en menjadi panjenengan.
Share:

Model Penilaian Otentik Kompetensi Berbicara dan Menulis


Mengajar Materi Wayang
Guru biasanya menggunakan tes tertulis (paper and pancil test) atau disebut dengan penilaian konvensional. Penilaian  (paper and pancil test)  hanya dapat mengukur kemampuan kognitif, sehingga perlu model penilaian alternatif yang disebut dengan penilaian otentik. Model penilaian otentik kompetensi berbahasa produktif yang dapat diterapkan diantaranya adalah (1) penilaian unjuk kerja, (2) penilaian proyek, (3) penilaian produk, dan (4) penilaian portofolio. Penilaian kompetensi berbicara dan menulis merupakan penilaian yang menuntut peserta uji untuk berunjuk bahasa. Dalam kompetensi berbicara dan menulis peserta didik harus berunjuk kerja bahasa, praktik menggunakan bahasa target untuk menerapkan kompetensi berbahasa dan pengetahuannya dalam sebuah tuturan. Jadi dalam kompetensi ini peserta didik tidak hanya memilih, mengkreasi, dan mengonstruksi bahasa, melaiankan juga memilih, mengkreasi dan mengonstruksi apa yang dituturkan lewat bahasa. Keduanya harus seimbang, dalam arti sama-sama dikuasai, karena sama-sama diperlukan demi berlangsungnya sebuah tuturan. 



Share:

Apa Itu Basa Krama Desa ?

Belajar bahasa Jawa

Krama desa adalah kosakata yang digunakan oleh masyarakat pedesaan dikarenakan mereka tidak memahami tata bahasa yang benar. Krama desa memiliki ciri kata yang sebenarnya sudah merupakan bentuk krama, tetapi dikramakan lagi (padahal sebenarnya hal tersebut tidak tepat). Misalnya tiyang sepuh menjadi tiyang sepah, jawah menjadi jawoh, dhuwit menjadi yatra, jeneng menjadi nami, kabeh menjadi sedanten, sepisan menjadi sepindhah, bali menjadi bangsul dan lain sebagainya.


Share:

Pentingnya Penggunaan Media Pembelajaran Dalam Pembelajaran Bahasa Jawa

Dalam proses belajar mengajar ada banyak faktor yang mempengaruhi tercapainaya tujuan pembelajaran diantaranya pendidik, peserta didik, lingkungan, metode/teknik serta media pembelajaran. Pada kenyataannnya, apa yang terjadi dalam pembelajaran seringkali terjadi proses pengajaran berjalan dan berlangsung tidak efektif. Banyak waktu, tenaga dan biaya yang terbuang sia-sia sedangkan tujuan belajar tidak dapat tercapai bahkan terjadi noises dalam komunikasi antara pengajar dan pelajar. Hal tersebut diatas masih sering dijumpai pada proses pembelajaran selama ini.
Dengan adanya media pembelajaran maka tradisi lisan dan tulisan dalam proses pembelajaran dapat diperkaya dengan berbagai media pembelajaran. Dengan tersedianya media pembelajaran, guru pendidik dapat menciptakan berbagai situasi kelas, menentukan metode yang akan dipakai dalam situasi yang berlainan dan menciptakan iklim yang emosional yang sehat diantara peserta didik. Bahkan alat/media pembelajaran ini selanjutnya dapat membantu guru membawa dunia luar ke dalam kelas.
Lebih lengkap tentang pentingnya penggunaan media pembelajaran dapat dilihat pada video di bawah ini

                             Video Pentingnya Penggunaan Media Pembelajaran dalam Penbelajaran
Share:

Unggah Ungguh Basa Jawa


Tata krama siswa pada guru

Bahasa Jawa merupakan bahasa yang mengenal adanya tingkat tutur atau undha-usuk basa atau unggah-ungguh basa. Adanya tingkat tutur dalam bahasa Jawa merupakan adat sopan santun berbahasa Jawa. Adat sopan santun ini mencerminkan perilaku kebahasaan yang sebenarnya juga tercermin dari perilaku masyarakat.

Tingkat tutur adalah variasi bahasa yang perbedaan antara satu dan lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap santun yang ada pada diri pembicara (O1) terhadap lawan bicara (O2) (Poedjasoedarma, 1979:3). 

Bahasa bersifat dinamis. Artinya akan selalu berubah mengikuti perkembangan jaman. Hal ini berlaku juga untuk bahasa Jawa. Pembagian undha-usuk yang sangat banyak tersebut akhirnya mengerucut hanya menjadi dua yaitu ngoko dan krama. Ngoko dibagi menjadi dua yaitu ngoko lugu dan ngoko alus, sedangkan krama dibagi menjadi dua yaitu krama lugu dan krama alus. Undha-usuk inilah yang diajarkan di sekolah-sekolah jaman sekarang.

Jadi unggah ungguh basa Jawa yang diajarkan di sekolah adalah
(1) ngoko lugu
(2) ngoko alus
(3) krama lugu
(4) krama alus




Share:

BTemplates.com